Dalam satu khutbahnya Nabi SAW pernah menyampaikan:"Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tanpa hukuman) tetapi jika yang mencuri orang awam (lemah) maka ditindak atas nama hukum. Demi Dzat dalam jiwaku dalam genggaman-Nya, apabila Fatimah putri Muhammad mencuri, maka akupun akan memotong tangannya" (HRBukhari).
Tidak mudah untuk melaksanakan dan menegakkan suatu keadilan, banyak hambatan (gangguan) yang menyebabkan keadilan itu sulit untuk ditegakkan. Sebagaimana dan
sering banyak teajadi keputusan yang tidak terlepas dan campur tangan dan tekanan orang-orang kuat, rekayasa, upeti dan iming-iming dari pihak-pihak tertentu sudah menjadi hal yang lumrah untuk mempengaruhi satu keputusan.
Di masa pemerintahan Abbasiyah, ketika itu yang menjadi raja adalah Abu Ja’far Al Manshur. Saat itu ia membutuhkan seorang hakim, lalu ia memanggil tiga ulama besar saat itu ke istananya. Ketiga ulama tersebut adalah Imam Malik, Imam Ibnu Abi Dzib, dan Imam Hanafi. Ketiganya ditawari untuk menjadi hakim, ketiga imam tersebut menolak dan memberikan alasan masing-masing. Imam Malik menjawab: "Saya tidak sanggup memikul tugas itu, karena saya pernah dihukum dera oleh wakil raja di Madinah". Imam Ibnu Abi Dzib mengatakan: "Saya keturunan Quraisy, orang yang sama kebangsawanannya dengan raja yang sedang berkuasa. Karenanya saya tidak patut diangkat menjadi hakim, sebab dikhawatirkan akan menjadi sekutu (berkolusi) dalam kekuasaan raja". Demikian juga Imam Hanafi mengatakan: "Saya tidak patut menjadi hakim, karena saya orang bawah, bukan keturunan bangsawan. Orang yang menjadi hakim itu sebaiknya orang yang kuat, mungkin dari keturunan bangsawan karena ia dipandang luhur oleh kaumnya".
Jabatan Hakim
Memang jabatan hakim itu sungguh berat, sebagaimana Nabi SAW bersabda: "Barangsiapa yang diangkat sebagai hakim di tengah-tengah masyarakat, sama saja disembelih tanpa pisau" (HR.Turmudzi). Inilah gambaran Nabi SAW tentang betapa beratnya menjadi hakim itu. Karenanya, tidak seorangpun yang berani meminta jabatan itu. Dan Nabi SAW tidak akan memberikan jabatan itu kepada orang yang ambisius, yang meminta jabatan. Nabi SAW juga sangat hati-hati dan selektif dalam pengangkatan seorang hakim. Sabda Nabi SAW: "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada seorang yang memintanya, atau kepada orang yang berambisi". Orang yang meremehkan, mempermainkan dan mengkhianati jabatan hakim digolongkan termasuk orang yang tidak beriman. Dosanya disetarakan dengan dosa syirik. Agama, negara dan umat akan hancur berantakan bila hakimnya tidak bermoral dan bermartabat tinggi.
3 Golongan Hakim
Nabi SAW mengklasifikasikan hakim menjadi tiga golongan: "Ada tiga golongan hakim, dua golongan di neraka, sedang satu golongan lagi masuk surga. Hakim masuk surga adalah mengetahui kebenaran hukum dan mengadili dengan hukum tersebut. Sedang hakim yang mengetahui kebenaran hukum, tetapi tidak mengadili dengan hukum tersebut, bahkan bertindak zhalim dalam memutuskan perkara, maka ia masuk neraka. Yang segolongan lagi adalah hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengan kebodohannya itu. Maka ia juga masuk neraka" (HR. Abu Daud & Athmahawi).
Berdasarkan hadits ini, ada dua persyaratan yang harus disiapkan seorang hakim yaitu: Pertama, kesiapan mental dan kedua kesiapan ilmu. Seorang hakim yang mentalnya lemah, sebaiknya minggir saja. Kalau tidak mempunyai keberanian menyampaikan yang benar sebagai kebenaran dan yang salah sebagai kesalahan, sebaiknya mundur dari jabatan ini. Jangan coba-coba, sebab ancamannya neraka!
Hakim Syuraih
Disebutkan, ketika Ali bin Abi Thalib berpekara dengan seorang Yahudi. Ali merasa yakin bahwa baju besinya telah hilang, kini telah dikuasai dan dimiliki orang Yahudi tersebut. Perkara itu tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, akhirnya di bawa ke pengadilan. Hakim yang bertugas saat itu bernama Syuraih.
Ketika Ali memasuki ruangan sidang, Hakim Syuraih tetap duduk ditempat, meskipun kala itu sebagai Amirul Mukminin, kepala negara, dia tidak menghormat dengan berdiri, sebagaimana layaknya menghormati kepala negara. Hakim Syuraih memperlakukan dua orang yang berpekara itu dengan adil. la bertanya kepada Ali sebagaimana ia bertanya kepada terdakwa. Kala Ali mengklaim bahwa baju besi itu miliknya, hakim meminta kepada Ali mengajukan dua saksi. Alipun menyanggupi. Maka datanglah dua orang saksi yaitu Qanbar pembantunya dan Al Hasan putranya. Hakim menerima kesaksian Qanbar, tetapi tidak menerima kesaksian putranya, Ali berkata "Tidakkah tuan dengar bahwa Umar telah berkata bahwa Rasulullah SAW pernah berkata Al Hasan dan Al Husein adalah pemimpin surga?"."Memang benar" jawab hakim Syuraih. "Tidakkah diterima kesaksian pemimpin muda di surga" kata Ali lagi. Namun hakim Syuraih tetap pada putusannya Kesaksian Ali Has an ditolak hakim Syuraih kemudian memutuskan bahwa baju itu tetap milik lelaki Yahudi tersebut. Anehnya. ketika putusan itu dibacakan, Ali tidak lagi angkat bicara la menyerah pasrah, bahkan ia tersenyum puas terhadap putusan hakim, dan berkata: "Sesungguhnya benar hakim syuraih, saya tidak punyabukti".
Sekiranya hakim Syuraih tidak kuat mentalnya, tentu ia tidak bisa bersikap tegas dengan mengambil keputusan yang merugikan penguasa, tetapi karena hakim ini punya nyali, apapun yang terjadi ia siap menerimanya. Seharusnya para hakim mencontoh kenetralan hakim Syuraih ini, siapapun yang berperkara, putuskan secara adil. Tidak peduli pejabat tinggi, bahkan presiden sekalipun, bila salah harus diputus salah.
Sumber : Lembar risalah An-Natijah No. 21, Th. XIII 23 Mei 2008